Dalam hidup ini, ada yang namanya hubungan timbal balik, atau bahasa biologinya : simbiosis, yang timbul dari interaksi kita dengan lingkungan sekitar. Baik itu sesama manusia, alam, bahkan kepada hewan. Kepada sesama manusia, hubungan timbal balik itu berlangsung dalam proses sosialisasinya. Ada yang disebut, simbiosis mutualisme. Hubungan / interaksi yang menguntungkan kedua belah pihak yang berinteraksi. Menguntungkan disini berarti banyak hal. Bisa saja, salah satu pihak membantu yang lain,ketika sedang mengalami kesulitan. Begitu sebaliknya. Normalnya sih, hubungan / interaksi sesama manusia seperti ini. Bukan berarti kita mau membantu kalau orang itu pernah membantu kita saja, tetapi ada keseimbangan antara memberi dan diberi. Take and give. Memberi nggak selalu berupa uang atau barang kok, bisa saja memberi kasih sayang.
Sebagai contoh, ada suatu cerita. Ada seorang janda, yang sudah kurang lebih lima tahun ditinggalkan suaminya. Kini dia tinggal bersama putra tunggalnya. Janda ini memiliki kerabat dekat, seorang wanita serta keluarga dari wanita ini. Mereka berteman baik. Ketika si ibu janda ini sakit, si wanita dan keluarganya datang menjenguk. Tidak jarang, ketika salah satu keluarga memasak dalam jumlah besar, mereka saling mengirim makanan. Kedua ibu ini tidak hanya sering memasak bersama, tapi juga sering berbagi tentang masalah mereka masing-masing. Mereka saling memberi solusi. Hubungan persahabatan kedua wanita ini sangat positif. Bahkan, kini ibu janda itu tidak sendiri lagi. Tidak lama lagi ibu janda ini akan menikah dengan sahabat dari sahabatnya
Hmm... benar – benar persahabatan yang indah.
Selain simbiosis mutualisme, ada simbiosis lain yang ampir mirip simbiosis mutualisme, tetapi ada sedikit perbedaan.namanya simbiosis komensalisme. Simbiosis komensalisme berlangsung apabila salah satu pihak merasa diuntungkan,dan pihak lainnya juga tidak merasa dirugikan. Misalnya, ada pengusaha kaya yang membantu fakir miskin. Fakir miskin merasa mendapat keuntungan, sementara si saudagar nggak dirugikan, juga nggak diuntungkan karena dia memang berniat membantu. Hal ini jika dianalisis bisa juga termasuk simbiosis mutualisme. Si saudagar merasa senang karena bisa membantu, mendapat kepuasan batin, sementara fakir miskin juga senang karena dibantu.
Tetapi dalam kehidupan ini ternyata simbiosis nggak selalu bersifat mutualisme atau komensalisme, sering juga kita jumpai simbiosis parasitisme. Ini nih yang agak menyebalkan. Secara teori, kita males banget ya, berhubungan sama orang yang nggak bisa membalas baik kebaikan yang kita berikan kepadanya. Tapi hubungan timbal balik seperti ini justru sering dijumpai. Kalau ini terjadi antara hubungan kita sama orang lain sih nggak masalah. Kita bisa menjaga jarak dengan orang tersebut. Tapi kalau hubungan ini terjadi antara dua sahabat? Atau justru dengan saudara. Hmmmm..
Ada suatu cerita juga tentang simbiosis parasitisme ini. Ada seorang pasangan kakek-nenek, yang usianya sudah menginjak 70an. Sebut saja namanya Pak Sumanto. Mereka mempunyai dua orang anak laki-laki. Masing-masing sudah berkeluarga. Keluarga besar Pak Sumanto merupakan keluarga yang harmonis. Hubungan antara Bapak-Ibu Sumanto dengan anak, cucu, serta menantunya berjalan dengan sangat baik. Suatu saat, ketika lebaran, seperti biasanya, bapak dan ibu Sumanto selalu berkunjung ke keluarga besar mereka di desa. Sebagai keluarga yang bisa dibilang mapan, Bapak dan Ibu Sumanto, serta kedua anaknya, selalu menyantuni anak-anak yang kurang mampu di desa tersebut. Ketika berkunjung ke rumah salah satu saudara, Bapak Sumanto baru mengetahui ternyata ada salah satu saudarinya yang mengalami kesulitan ekonomi. Sebut saja namanya Ibu Tince. Ibu Tince sudah ditinggalkan suaminya sejak 6 tahun lalu. Dia dan ketiga anaknya yang masih sekolah harus bertahan hidup. Anak pertamanya, Moza, saat ini sudah lumayan bisa membantu ibunya karena sudah part time bekerja sambil kuliah. Anak keduanya, Edgar, masih duduk di bangku SMP. Dan anak terakhirnya, Angga, masih SD. Ibu Tince bekerja sebagai guru taman kanak-kanak dan bekerja sambilan sebagai pedagang di warung kelontong yang terletak di depan rumahnya. Sebagai saudara (meskipun terbilang saudara jauh), keluarga besar Sumanto tentunya mau membantu Ibu Tince. Akhirnya, untuk meringankan beban Ibu Tince, keluarga Sumanto membawa Edgar,untuk dibiayai sekolah dan kebutuhan hidupnya. Kebetulan , Bapak dan Ibu Sumanto hanya tinggal berdua semenjak kedua anaknya berumah tangga, jadi, Edgar bisa menemani bapak dan ibu Sumanto.
Beberapa bulan berjalan, Ibu Tince, Moza dan Angga, sering menjenguk Edgar di kota. Namun pada kenyataannya, pada saat Ibu Tince dan kedua anaknya menjenguk, justru menjadi beban untuk keluarga Sumanto. Mereka melakukan semua hal seenaknya. Makan seenaknya, bahkan ketika bapak-ibu Sumanto belum makan, mereka sudah mengabiskan makanan. Tidak mau mencuci sendiri pakaian mereka, padahal mereka tau, pembantu yang bekerja di rumah bapak-ibu Sumanto hanya satu dan sudah cukup repot melayani bapak dan ibu Sumanto. Tapi keluarga Ibu Tince menganggap kedatangan mereka di rumah bapak Sumanto sebagai tamu, yang harus dilayani. Hal ini tidak hanya terjadi sekali dua kali saja, tetapi setiap ada kesempatan liburan atau setidaknya dalam satu bulan pasti menjenguk. Awalnya, Bapak dan Ibu Sumanto berusaha sabar, dan menganggap itu hal biasa saja. Toh keluarga ibu Tince itu bukan orang lain, mereka masih ada hubungan saudara. Namun lama kelamaan didiamkan, ternyata mereka semakin menjadi. Bahkan mulai berani mengambil uang segala. Akhirnya, Ibu Sumanto mengutarakan ke-tidak-nyaman-annya kepada Ibu Tince. Ibu Tince merasa tidak terima, dan menganggap Ibu Sumanto ingin mengusirnya dari rumahnya.
Ibu Tince marah dan pulang ke desa bersama Moza dan Angga. Dia bercerita kepada saudara-saudara lain yang ada di desa (yang juga saudara Bapak dan Ibu Sumanto) tentang Ibu Sumanto yang mengusirnya, dan dia mencaci maki keluarga Sumanto yang notabene sudah membantu Edgar,di depan saudara-saudaranya. Lucunya, dalam keadaan marah-marah, dan mencaci maki keluarga Sumanto, Edgar masih dibiarkan tinggal bersama bapak dan ibu Sumanto. Dan kebutuhan hidup Edgar sampai saat ini masih dibiayai.
Buat saya hal tersebut unik. Mereka itu saudara, salah satu sudah berniat baik membantu, tapi balasan yang diterima tidak sebanding dengan apa yang diberikan. Kita nggak bisa protes sama itu semua. Karena itulah hidup. Kita nggak bisa memaksa semuanya harus baik sama kita setelah kita melakukan kebaikan sama mereka. Nggak semuanya suka,pro,setuju sama apa yang kita lakukan. Pasti ada yang kontra, nggak suka. Yaaa mau nggak mau kita harus nerima hal itu. Kita bisa tau hal itu benar karena ada yang salah. So, Just enjoy it. :)
maaf yaaa panjang banget mau ngomong gini aja..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "timbal balik"
Posting Komentar