SEMUAMUA POLITIK!

Hai blog. Ga terasa udah hampir habis bulan Februari 2024. Baru awal tahun tapi udah terlalu ribut rasanya beberapa minggu di awal tahun ini. Ya, tanggal 14 Februari 2024 ini, Indonesia merayakan pesta demokrasi alias pemilu. Untuk pertama kalinya ngerasain nyoblos di kota orang (ngga bisa dibilang merantau karena udah bareng sama keluarga kecil, tapi bukan kampung halaman juga, jadi gimana sih? hahaha). Dan kali ini yang dicoblos banyak banget ngga Cuma presiden doang, ada legislatif juga. DPD lah, DPRD lah, DPR RI lah. Banyak. Mana nggak kenal pula jadi ya dalam nama Yesus ajalah ya semoga yang terpilih bisa membawa perubahan ke arah lebih baik.

Pemilihan presiden tahun ini melewati banyak tahapan biar semua rakyatnya ngerti soal program kerja yang mau mereka kerjain buat membawa Indonesia lebih baik lima tahun kedepan. Lewat debat capres (calon presiden) dan debat cawapres (calon wakil presiden) berkali kali. Harapannya ya masyarakat terbuka pikirannya, dan bisa memilih dengan lebih mantap dan yakin siapa paslon (pasangan calon) yang akan dipilih. Kenyataannya sih, nggak segitunya ya. Kalo orang udah yakin sama satu paslon, mau dia di debat itu perform atau nggak perform ya tetep aja di dukung mati-matian dibela-belain pake urat. Mending bakso urat enak, lah ini urat leher sampe urat malu kadang putus.

Di keluarga besarku, pemilihnya juga beragam. Ngga semua sepakat di satu pasangan calon. Dan aku memilih untuk (mengaku) golput aja. Even nggak golput beneran, aku akan bilang golput aja didepan mereka. Mau suara mereka sama dengan pilihanku atau berseberangan, aku tetap bilang golput aja. Kadang yang dibutuhkan di masa-masa ini Cuma komunikasi yang baik aja sama keluarga. Udahlah kerjaan aja yang bikin capek, ngurus rumah dan anak juga udah menguras pikiran, nggak usahlah ditambahin sama debat nggak perlu soal pilihan presiden. Ya yang menurutmu benar silahkan yakini, yang menurutku benar ya biar aku yakini. Mau dikasih tunjuk video-video paparan segala macem, kalo semua itu Cuma potongan video, kita nggak bener-bener subjektif menilainya. Berhenti mendadak jadi politikus Cuma karena giringan opini media. Pilihanku juga tidak sempurna pasti, tapi aku tidak mau terlalu membela atau menyanjung, karena yasudahlah aku memilih itu karena aku juga membaca. Berita yang aku baca,video yang aku lihat dan pemahaman-pemahaman yang kuyakini benar, ya biar itu menjadi konsumsiku aja. Mau terlibat dan peduli buat negara di beberapa tahun mendatang, tapi males ribet dan ribut.

Setelah pengumuman hasil pemilu pun, semua orang juga akan menerima kok hasilnya. Ada gitu warga negara yang secara independen, menggungat karena tidak setuju dengan hasil pemilu? Aku rasa ngga ada ya, atau jarang. Kebanyakan sih dari partai politik (yang tentunya dengan dibumbui banyak kepentingan), menggungat karena merasa banyak kecurangan yang mereka rasakan di pemilu 2024 ini. Ya secara dia juga udah kampanye juga, kluar duit banyak juga terus kalah.

Kadang, kita nggak perlu buat menjelaskan, where we stand clearly to others. Karena tau, ada relasi-relasi penting yang lebih berharga untuk dijaga. Ada lebih banyak memori menyenangkan yang bisa dicreate ketimbang terus ngedebat pendapat yang berbeda dengan kita. Kalau mereka sependapat sama kita, mereka nggak memerlukan penjelasan kita. Atau kalau mereka sudah terlanjur tidak suka sama pilihan kita, mau dijelasin kayak gimana, didebat kayak gimanapun juga Cuma ngabisin waktu tenaga dan kalau parah bisa merusak relasi. Come on, pemilu lima tahun sekali, itu juga heboh bangetnya beberapa bulan / minggu sebelum pencoblosan. Relasi kita sama orang-orang terdekat itu nggak worth buat dituker sama adu urat.

Ada banget masanya, dikatain apatis, ngga peduli masa depan negara, daripada golput mending suaranya diisi ke salahsatu paslon minimal cegah yang buruk berkuasa, dan banyak lagi, karena mengaku golput. Ya biar aja. Wong nyoblosnya juga bukan di panggung yang dilihat banyak orang. Nyoblos juga di kubikal tertutup, mau kita ngomong golput endingnya tetep milih juga kan yang tau kita sama Tuhan doang. Hahaha. Itu yang koar-koar ngedukung sampe otot urat semua pada keliatan, yakin tuh beneran nyoblos yang dibela? Atau karena mau “serangan fajar”nya doang?

Udah 2024 bro,sis. Waktunya jadi pribadi lebih dewasa. Udah bisa milih artinya udah 17+ dong ya? Atau kalaupun belom 17+, udah nikahlah. Dewasa dong? Ya kan? Ya dong? Bener kan? Bener dong? Itu yang kalian bela mati-matian ntar juga abis itu koalisi juga endingnya. Jadi, daripada waktumu terlalu selo buat debat mending bantuin kelarin gambar aku yuk. Less bac*t more cuan. Smangat!

Parenting that PARENT SHOULD THINK!

 

Hai hai. How are you today? Topik pembahasan kali ini agak serius ya, hehe. Yaiyalah udah jadi orangtua 2 anak masa masih mau cengengesan melulu yakan. Meskipun cengengesan ditengah badai itu juga perlu, kalo kata anak-anak jaman now buat work life balance dan menjaga mental health tetap baik hahaha.

Jadi minggu lalu ada seminar parenting yang diadain sama sekolah si kakak, yang mengundang semua orangtua murid. Temanya adalah Moving together: Parents and Educators for Healthy Growth of Children in the Digital Era. Speakernya dulunya tenaga pengajar  dan kepala sekolah, tapi sekarang udah resign dan fokus jadi pembicara buat tema2 parenting semacam itu.

Sebelum ikut seminar ini, aku melihat parenting dengan segala teori-teorinya ya Cuma dari browsing online. Kadang muncul dari Instagram para praktisi kesehatan dan tumbuh kembang anak, selebihnya ya dari praktek langsung menghadapi anak yang ujiannya sungguh ada aja. Harus belajar setiap hari. Jadi orangtua nggak pernah ada sekolahnya. Semua otodidak, dan kadang tiba-tiba ada kuis, ada ujian, ada sidang HAHA. Iya, emang se-otodidak itu. Kalo ada pakemnya atau petunjuk pakai kayak kalo kita beli barang elektronik, mungkin klinik tumbuh kembang anak nggak pernah ada di dunia ini. Dokter anak juga ga diperlukan kayaknya, karena kalo sakit juga udah ada pakemnya harus diapain.

Tapi justru karena setiap anak itu unik dengan kepribadiannya masing-masing, satu- satunya cara untuk memahami dan membersamai dia adalah  dengan dekat dengan dia, meluangkan waktu untuk bener-bener pantau tumbuh kembangnya. Menyadari bahwa anak dan orangtua sama-sama belajar. Orangtua (dalam hal ini aku sebagai generasi milenial), menjalani peran untuk mendampingi anak generasi alfa, kita sebagai tamu doang di generasi ini. Ini generasinya mereka, anak2 alfa. Kalo kita sebagai orangtua nggak adjust, ngotot mau nerapin pola parenting yang diterapkan ke kita waktu kecil, ya nggak bisa.”Lah dulu aku juga dibiarin main nggak masalah tuh. Masih kelas 1 SD pulang naik angkot sendiri dari sekolah ke rumah juga baik2 aja tuh.” Yaa monggo sih kalo mau punya pemikiran era orde baru sih bye aja jangan lanjutin baca tulisan ini karena ngga akan masuk. Dulu orang sejahat-jahatnya ngapain sih, nyopet mungkin. Penculikan anak  juga belum yang gimana-gimana kayak sekarang ini. Kejahatan semaikin banyak mengintai, kewaspadaan juga harus ditingkatin kalo mau aman. Atau, “Yaelah makan pada susah-susah amat sih, dulu aku umur 2 bulan juga udah dikasih pisang kata ibu aku.”YHAAAAAAA.

Perkara adjust ngga segampang 6 huruf itu. GImana kalo ternyata kita punya innerchild yang kambuhan, gimana kalo kita punya luka yang belum beres sama orangtua, dan itu membuat kita memperlakukan anak tidak dengan seharusnya. Atau ada kodisi fatherless atau motherless (kalau LDM karena tuntutan kerjaan) atau malah parentless(?) karena tinggal sama kakek neneknya. Kalo yang LDM ya harus salah satu orangtua bisa memerankan dua peran, ya jadi ayah tapi juga jadi ibu di waktu yang sama. Bisa nggak?

Bisa juga nggak ada luka sih, ngga ada innerchild yang gimana-gimana sih  tapi sibuknya minta ampun papa mamanya, jadi anaknya lebih banyak spent time sama mbaknya dirumaht, erpapar gadget screentime entah berapa lama. Orangtuanya sampe rumah udah capek dan endingnya nggak ada komunikasi yang baik antara anak dan orangtua. Mau membatasi screen time ngikutin aturan IDAI, tapi dianya juga ga bisa nemenin, mau delegasi tugas ke mbaknya buat nemenin anak main no gadget juga tergantung personality mbaknya. Ada yang bisa ada juga yang nggak. Mengingat abis pandemic juga kan, anak-anak juga kayak udah kebiasa nonton youtube jadi hiburan satu satunya mereka karena disuruh dirumah aja. Kalo mau no gadget sama sekali ya bisa aja sih Cuma ya energy orangtuanya harus bisa mengimbangi.

Di sisi lain, gadget juga bukan sesuatu yang bisa “dimusnahkan” dari tumbuh kembang anak generasi alfa ini. Kalo masih bayi sih oke ya bisa kita jauhin no gadget. Tapi makin kesini udah makin gede, dia juga kan makin ngerti ya, dan kita juga mesti keeping up anak dengan update teknologi yang akan membersamai  generasinya. Ada teknologi AI, trus virtual reality dengan segala kecanggihannya, belajar coding,dimana semua itu bisa dipelajari dan diketahui kalo ada screen time. Batasan penggunaan screen time sih sejauh ini belum ada yang pasti, harus berapa lama idealnya, karena semua Cuma lihat di outputnya. Screentime lama kalo ternyata anaknya passion di coding ya mungkin juga bukan jadi masalah. Tinggal menyeimbangkan waktu dia bersosialisasi dengan lingkungan ga melulu ngoding aja. Kita harus jadi SUPER TAMENG buat anak-anak supaya terpapar dengan hal positif yang berdampak baik buat tumbuh kembangnya.

Segudang issue parenting di era digital ini semuanya dibahas di seminar itu dan kasih banyak insight karena relate sama aku yang sedang menghadapi si kakak yang lagi ada di fase moody. Hope this is just a phase in her life. Dan semua isi seminar itu menamparku kanan kiri sebanyak 70 kali 77 kali kalo kata alkitab mah. Bagaimana kita harus lebih aktif ngedeketin anak, lebih proaktif make a move bukan nunggu dia ujug-ujug mau curhat  sama kita tentang kesehariannya. Menjadikan dia pribadi yang bisa lebih terbuka sama kita dengan cara kita yang terbuka lebih dulu sama dia.

Parenting itu nyatanya kompleks. Jadi orangtua itu belajarnya seumur hidup. Belum lagi kalau anaknya lebih dari satu, karakternya pasti beda juga. Adjustment tiada henti. Jadi, mempertimbangkan untuk punya keturunan harus banget dibarengi dengan kemauan belajar, nggak gampangin. Berkaca untuk diri sendiri, akupun bukan orangtua sempurna. Kesabaranku masih setipis tisu dibagi 2.kadang kalo tangki cintaku kurang penuh, masih sering emosi melihat anak tantrum. Tapi kembali lagi inget, kalau Tuhan udah kasih kepercayaan berarti Dia tau KITA, mama dan papanya, mampu dan sanggup merawat dan mendidiknya dengan baik.

Semangat kita orangtua generasi alfa. Semoga selalu diberi kesabaran, kekuatan, kemampuan buat mendidik dan membersamai anak-anak. Semakin besar tantangan didepan, yang penting harus KOMPAK sama pasangan untuk jadi partner membesarkan anak.GOD BLESS US. keep rock and roll but dangdut at the same time!